Jumat, 13 Januari 2012

Pemikiran pendidikan Islam Ibnu Maskawih

      2.            IBN MISKAWAIH
A. Riwayat Hidup
            Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H/ 932 M di Rayy, dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 412H/ 16 Februari 1030 M. Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi (320-450H/ 932-1062M) yang sebagian besar pemukanya bermazhab Syi’ah.[1]
            Ibn Miskawaih dikenal sebagai sejarawan besar yang kemasyhurannya melebihi pendahulunya, At Thabari. Ia juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibn Miskawaih dalam berbagai bidang ilmu tersebut antara lain dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel. Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibn Miskawaih ada 41 buah.


Menurut Ahmad Amin, Ibn Miskawaih merupakan seorang intelektual Muslim pertama di bidang filsafat akhlak, dan semua karyanya tidak luput dari kepentingan filsafat akhlak. Sehubungan dengan itu tidak mengherankan jika Ibn Miskawaih selanjutnya dikenal sebagai moralis.
B. Dasar Pemikiran
1)      Konsep Manusia
Menurut Ibn Miskawaih, manusia sebagai makhluk mempunyai tiga daya yang merupakan unsur rohani manusia, yaitu:
Ø  Daya bernafsu, sebagai daya terendah.
Ø  Daya berani, sebagai daya pertengahan.
Ø  Daya berfikir, sebagai daya tertinggi.[1]
Ketiga unsur itu saling terkait, oleh karena itu manusia terdiri dari unsur jasad dan rohani yang antara satu dan lainnya saling berhubungan.
2)      Konsep Akhlak
Menurut Ibn Miskawaih, al ‘iffah (menjaga diri), as saja’ah (keberanian), al hikmah (kebijaksanaan), al ‘adalah (keadilan) merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia. Ibn Miskawaih menegaskan bahwa yang tengah bersifat terpuji dan yang ekstrem tercela. Doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran Islam, yaitu ayat Al Qur’an yang memberi isyarat untuk tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros melainkan harus bersifat di antara kikir dan boros.
tûïÏ%©!$#ur !#sŒÎ) (#qà)xÿRr& öNs9 (#qèù̍ó¡ç öNs9ur (#rçŽäIø)tƒ tb%Ÿ2ur šú÷üt/ šÏ9ºsŒ $YB#uqs% ÇÏÐÈ
 “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”.
            Doktrin jalan tengah tidak hanya memiliki nuansa dinamis, tetapi juga fleksibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zaman tanpa menghilangkan pokok keutamaan akhlak. Jadi dengan doktrin jalan tengah, manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.
3)       Konsep Pendidikan
Ibn Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan akhlak.
Ø  Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.
Ø  Materi Pendidikan Akhlak
Ibn Miskawaih menyebutkan tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlak yaitu:
a)      Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia
b)      Hal-hal yang wajib bagi jiwa
c)      Hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia[2]
Selanjutnya materi pendidikan akhlak yang wajib dipelajari bagi keperluan jiwa yaitu, pembahasan tentang aqidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesaranNya, serta motivasi untuk senang kepada ilmu.
Apa pun materi ilmu itu semuanya tidak lepas dari pengabdiannya kepada Allah. Materi yang ada dalam syari’at sangat ditentukan oleh Ibn Miskawaih. Menurutnya, dengan mendalami syari’at, manusia akan teguh pendirian, terbiasa berbuat yang diridhai Allah, dan jiwa siap menerima hikmat hingga mencapai kebahagiaan.
Para guru/ pendidik dipandang oleh Ibn Miskawaih mempunyai kesempatan baik untuk memberi nilai lebih pada setiap bidang ilmu bagi pembentukan pribadi mulia. Setiap ilmu hendaknya membawa misi akhlak yang mulia, bukan semata-mata ilmu dan tujuan akademis. Semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang, maka akan semakin tinggi pula akhlaknya.
Ø  Pendidik dan Anak Didik
Kedua aspek pendidikan (pendidik dan anak didik) mendapatkan perhatian yang khusus dari Ibn Miskawaih. Kecintaan anak didik atau murid disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba terhadap Tuhannya. Ibn Miskawaih mendudukkan cinta murid terhadap guru berada di antara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan. Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak rohani, orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan Ilahi. Pendidik sejati yang dimaksudkan Ibn Miskawaih adalah manusia ideal seperti yang terdapat pada konsepsinya tentang manusia ideal. Ibn Miskawaih membagi cinta kepada empat bagian:
  • Cinta yang cepat melekat tetapi juga cepat pudar
  • Cinta yang cepat melekat tetapi tidak cepat pudar
  • Cinta yang melekatnya lambat tetapi pudarnya cepat pula
  • Cinta yang melekat dan pudarnya lambat
Macam-macam cinta ini menurutnya sekedar cinta manusiawi. Cinta yang diharapkan adalah cinta yang didasarkan atas semua jenis kebaikan, tetapi kualitasnya lebih lama, sehingga menjadi cinta yang murni dan sempurna yaitu cinta Ilahi. Kegiatan belajar mengajar yang didasarkan pada cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak yang positif bagi keberhasilan pendidikan.
Ø  Lingkungan Pendidikan
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kondisi yang baik dari luar dirinya dan mempunyai tabi’at memelihara diri. Beliau membicarakan lingkungan masyarakat pada umumnya, mulai dari lingkungan sekolah, lingkungan pemerintah dan lingkungan keluarga yang kesemuanya itu memberikan pengaruh terhadap lingkungan pendidikan.
Ø  Metodologi Pendidikan
Metodologi pendidikan sebagai cara-cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan yaitu perubahan-perubahan kepada keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Metode Ibn Miskawaih dalam mencapai akhlak yang baik yaitu:
a)            Adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa.
Menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya agar bisa membedakan baik dan buruknya


[1] Ibnu maskawaih, tahdzib al akhlaq, bairut : Makhsyurat Dar Maktabah al- Hayat, 1398 cet, II, hlm : 62
[2] Abudin nata, pemikiran oara tokoh pendidikan islam, PT. grafindo, Jakarta 1998, hlm : 12
[1] Abudin nata, pemikiran oara tokoh pendidikan islam, PT. grafindo, Jakarta 1998, hlm : 5

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

1 komentar:

ada lanjutannya nggak...??? kyk terputus...

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More